Membaca laporan koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo, tentang
aktivitas Baishun Takusi (Taksi Pelacuran) di Jepang, Saya jadi ingat
masa lalu. Ketika masih aktif di dunia jurnalistik cetak, Saya pernah
melakukan investigasi sekitar kehidupan seks orang-orang lokal di
Indoneisa, entah itu seksnya orang yang tidak penting maupun seksnya
orang penting. Di Indonesia, ada juga layanan seks yang memanfaatkan
armada taksi. Apa bedanya layanan seks taksi di Jepang dan Indonesia?
Menurut laporan Richard Susilo di Tribunnews.com, pelacuran dalam taksi (Baishun Takusi) belakangan ini mejadi sebuah bisnis baru di Tokyo. Bahkan, Baishun Takusidisebutkan
sedang menjadi trendi di Jepang dan banyak dicari lelaki kota besar,
terutama di Tokyo. Artinya, aktivitas pelacuran di Jepang tidak lagi
statis di satu tempat, tapi bisa bergerak menggunakan mobil, termasuk
dalam taksi. “mereka melakukan di dalam mobil van, mobil besar pintu
sorong (sliding door), biasanya mobil warna putih dan kaca hitam biar
tidak kelihatan dari luar,” ungkap sumber seperti dilansir Tribunnews.com.
Konsumen Baishun Takusi boleh
memesan taksi dengan menelpon. Setelah datang menjemput pemesan, taksi
bergerak menuju satu tempat agak jauh agar ada waktu untuk bermain seks.
Jadi selain harus bayar layanan seks, para konsumen juga harus bayar
argo taksi. Untuk tariff dari bandara Narita ke tengah kota Tokyo
misalnya, akan memakan waktu sekitar satu jam. Biaya argo meter taksi
sekitar 35.000 yen, sedang biaya layanan seksnya 30.000 yen. Hanya saja,
bisnis baru ini masih terbatas dan hanya tersebar dari dari mulut ke
mulut.
Di Indonesia, di antara pengemudi taksi yang beroperasi di berbagai
kota, tidak sedikit yang terlibat dalam bisnis pelacuran. Ini Saya
ketahui sejak dulu ketika masih aktif sebagai jurnalis dan melakukan
investigasi sekitar pelacuran. Bedanya, layanan seks yang melibatkan
sopir taksi di Indonesia ini tidak dilakukan di dalam taksi seperti di
Jepang. Untuk antar jemputnya memang menggunakan taksi, tapi untuk
layanan seksnya masih dilakukan di kamar hotel. Karena itu, bila naik
taksi cobalah menyelidik kepada sopir taksi soal jasa layanan pelacuran.
Kalau pintar mengorek keterangan, mungkin saja Anda akan memperoleh
informasi cukup menarik dan mengejutkan.
Dari sopir taksi yang pernah Saya korek keterangannya, tidak sedikit
yang menyimpan nomor kontak para pelacur. Dengan kata lain, tampaknya
sudah ada kerjasama khusus secara diam-diam antara sopir dengan para
pelacurnya. Di antara pelacur yang bekerjasama dengan sopir taksi ini
ada yang masih mahasiswa dan ada juga ibu rumah tangga yang kesulitan
ekonomi.
Jadi para pelacur yang ngobyek bersama sopir taksi ini tidak seperti
pelacur pada umumnya, yang sengaja memamerkan tubuh sesksinya di kawasan
kompleks pelacuran atau tempat hiburan malam kota besar. Dalam
kehidupan kesehariannya, mereka tetap seperti perempuan baik-baik pada
umumnya. Namun, di balik penampilannya yang alim ada sesuatu rahasia
disembunyikan bersama sopir taksi.
Yang menarik, ketika di satu kota ada event besar yang melibatkan banyak
tamu dari luar kota, sopir taksi yang terlibat dalam pelacuran modern
ini dapat memperoleh job dobel, yakni jasa antar jemput tamu maupun jasa
antar jemput pelacurnya. Jadi jangan heran, kalau penghasilan sopir
taksi bisa cukup besar pula. Sebab, selain mendapat bayaran argo, mereka
juga mendapatkan komisi dari para pelacur.
Nah, dari sinilah, Saya menjadi semakin yakin bahwa pelacuran tidak akan
mungkin dihapus dari muka bumi ini. Meski ada pemerintah daerah yang
melakukan penutupan lokalisasi, transaksi seks tetap dapat dijalan dari
mana saja, termasuk dari dalam taksi melalui telepon sel. Kalau angka
HIV/AIDS di Indonesia dewasa ini makin naik, patut diduga hal itu sangat
terkait erat dengan praktik pelacuran. Sebab, salah satu penyebab
naiknya HIV/AIDS di Indonesia juga akibat adanya aktivitas seks bebas
semacam ini.
Dari fenomena pelacuran ini pula, Saya melihat adanya benturan kultural
dari dua kutub yang berbeda, yakni sekuler (liberal) dan puritan.
Lantas, bagaimana dengan Anda? Apakah mau mencoba menikmati seks bebas
lewat jasa taksi dengan “bonus” terkena HIV/AIDS? Silakan saja pilih
sendiri. Yang jelas, dunia ini memang bisa dijadikan syurga bagi para
pemburu kenikmatan. Namun dunia ini juga bisa menjadi neraka bagi mereka
yang merindukan kedamaian batin. [Kompasiana-SutrisnoBudiharto]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar